Skip to main content

Kebahagiaan dan Kemencakupan

Tidak semua orang terlahir dan memulai hidup dalam kondisi yang sama. Ada yang secara materi serba cukup, namun secara fisik tidak beruntung (baik karena kurang cantik atau ganteng, cacat, penyakit bawaan dan semacamnya). Ada yang terlahir di lingkungan keluarga kurang berada secara materi, tapi punya keluarga yang harmonis.

Kalau bicara rasa ingin, tentu kita pilih yang serba lengkap. Keluarga kaya raya, harmonis, punya fisik lengkap dan ideal, skill hidup yang beragam, serta kemampuan akademik yang bagus.

Namun, betulkah itu keinginan yang layak dimiliki. Tidakkah kita berpikir bahwa kemencakupan ingin seperti itu andai pun terwujud justru (biasanya) menyimpan berbagai kontradiksi satu sama lain. Sesuatu yang mengimplikasikan sulit tercapainya keinginan esensial yang dimiliki manusia: kebahagiaan.

Ya, semua ingin tadi hanyalah instrumen. Yang jadi tujuan adalah kesenangan, atau yang lebih luas lagi yaitu kebahagiaan. Aku tidak bermaksud mengatakan ia tidak penting. Makanya ada orang bilang "uang tidak bisa membeli kebahagiaan, kalau sedikit" atau "uang bukan segalanya, tapi banyak hal bisa diselesaikan dengan uang".

Kembali pada kontradiksi antar keinginan yang bersifat instrumental di atas. Kita bisa contohkan dengan misalnya terlahir di tengah keluarga yang mapan dan keluarga dengan fisik ideal.

Perasaan superior dan rasa kepantasan yang tinggi dapat meningkatkan aspirasi & standar hidup. Jika tidak dibarengi moralitas & nilai yang kuat, tidak jarang menimbulkan 'perselingkuhan' dan mematikan sifat kesetiaan.

Ini tidak melulu soal asmara. Lebih jauh, bisa dalam bentuk relasi pertemanan, bisnis dan bentuk-bentuk lain yang bersifat sosial. Dari segi asmara, sebagai orang tua, jelas dapat memicu keretakan rumah tangga dan mengorbankan keharmonisan yang mahal harganya. Keluarga jadi pertaruhan.

Secara sosial, ini jelas bermasalah. Kita tahu, salah satu isntrumen kebahagiaan adalah ikatan emosional yang kuat dan sehat dengan sesama manusia di sekeliling kita.

Mengandalkan cara bahagia hanya pada uang dan fisik ideal jika tidak dibarengi oleh nilai maupun moralitas yang luhur sangat rawan terjerumus pada petualangan tanpa rambu-rambu.

Ini seperti ketika kita mengendarai mobil mewah tapi kehilangan kemampuan untuk mengenali alat petunjuk lalu lintas. Menyesatkan dan bahkan membahayakan keselamatan.

Lalu bagaimana sebaiknya? Kebahagiaan adalah hasil dari rajutan potensi yang kita miliki. Kecukupan materi sangat penting. Punya fisik ideal juga sangat menyenangkan. Hanya saja, tak otomatis ia dapat dikonversi menjadi suasana bahagia.

Kemampuan untuk mensyukuri apa yang tengah dimiliki, memaknai apa yang terlihat tidak menguntungkan dan kemampuan untuk bergerak merengkuh nasib yang lebih baik adalah kapasitas utama untuk dapat dengan mudah memanen kebahagiaan.

So, bahagia tidak mencakupkan dirinya pada banyak syarat. Harta yang banyak, pasangan yang menawan, rupa fisik yang anggun, jabatan mentereng dan syarat-syarat bikinan latah manusia lainnya justru kerap membelokkan jalan menuju kebahagiaan itu sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Kita Takut?

Takut adalah anugerah dalam bungkusan yang tidak diinginkan. Itu sebabnya kita sering luput mensyukurinya dan lebih sering menganggapnya sebagai beban yang dititipkan. Secara biologis, perasaan takut merupakan respon alamiah tubuh untuk mengabarkan bahaya. Tujuannya agar kita lestari dan senantiasa hidup lebih baik (survive). Tanpa rasa takut, kita menyeberang jalan tanpa merasa perlu lirik kanan-kiri. Tanpa rasa takut, kita tidak akan merasa perlu giat dalam bekerja. Kita merasa bahwa menghasilkan uang itu tidak penting, hanya menguras tenaga. Padahal kita butuh uang untuk makan. Ya, makan untuk tetap bertahan hidup lebih lama. Takut dalam sudut pandang yang netral dan tidak menghakimi sebetulnya punya saham besar dalam menggerakkan roda kehidupan manusia. Takut dalam pengertian ini lebih tepat dibahasakan sebagai bahan bakar yang tanpanya nuansa hidup kita bakalan hambar. Bahkan redup sama sekali.

Milih Kecewa, Emang Wajar?

"Wajar kalo sering kecewa. Tandanya kamu ga bercanda menjalani peran" Orang yang hidupnya penuh candaan, tidak mudah kecewa. Kejadian-kejadian yang telah berlalu, ia anggap lalu. Bahkan seringnya, itu ia lihat sebagai sesuatu yang lucu ketimbang masalah. Kita tahu, masalah dan kelucuan punya sisi kemiripan. Ia menampilkan sesuatu yang tidak normal. Tidak sesuai dengan apa yang diidealkan atau keumuman. Mari kita ambil contoh. Teman kita meminjam motor tanpa sepengetahuan kita. Padahal kita tahu dia tidak bisa mengendarai motor. Benar saja, dan akhirnya jatuhlah teman kita dari motornya. Apa yang ada di benak kita? Marah, kecewa benci atau merasa lucu & kasihan? Kalau fokus kita pada "tidak adanya persetujuan memakai barang milik kita" dan atau "rusaknya barang milik kita karena dipakai jatuh" tentu perasaan marah yang muncul. Jika yang digaris tebal adalah sikap kecerobohannya, kita akan menganggap itu sebagai kelucuan. Point-nya ada pada keragaman per...